Selasa, 26 April 2011

TENTANG PALEMBANG Oleh : Doni Pebriyanto


BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG
Monumen Perjuangan RakyatMonumen Perjuangan RakyatMonumen Perjuangan Rakyat  terletak diantara Masjid Agung Palembang dengan Jembatan Ampera dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Monumen didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat Sumatera Selatan ketika melawan penjajahan pada masa revolusi fisik yang dikenal dengan “pertempuran lima hari lima malam” di Palembang pada tanggal 1 Januari 1947 yang melibatkan rakyat Palembang melawan Belanda.


·         Kuta Besak adalah keraton pusat Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya menuju zaman baru di abad ke-19. Pengertian KUTO di sini berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng, kubu (lihat ‘Kamus Jawa Kuno – Indonesia’, L Mardiwarsito, Nusa Indah Flores, 1986). Bahasa Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan kepada negeri.

7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion (baluarti). Di dalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga ini dapat juga dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak (lihat LJ. Sevenhoven, Lukisan, halaman 14).
http://images.dodinp.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SA2tSwoKCEIAADblyiU1/Benteng%20Kuto%20Besak%201935%20an.jpg?et=nBhBZMwmopNf2csWygTSNQ&nmid=
·         Benteng Kuto Besak 1935 an 
·         Pengukuran terbaru para konsutan sendiri mendapatkan ukuran yang sedikit berbeda, yaitu panjang 290 meter dan lebar 180 meter. Pendapat de Sturler megenai kondisi benteng Kuto Besak:
·        
“… lebar 77 roede dan panjangnya 44 roede, dilengkapi dengan 3 baluarti separo dan sebuah baluarti penuh, yang melengkapi keempat sisi keliling tembok. Tembok tersebut tebalnya 5 kaki dan tinggi dari tanah 22 dan 24 kaki.
·        
Di bagian dalam di tengah kraton disebut Dalem, khusus untuk tempat kediaman raja, lebih tinggi beberapa kaki dari bangunan biasa. Seluruhnya dikelilingi oleh dinding yang tinggi sehingga membawa satu perlindungan bagi raja. Tak seorang pun boleh mendekati tempat tinggal raja ini kecuali para keluarganya atau orang yang diperintahkannya. Bangunan batu yang lain dalam kraton adalah tempat untuk menyimpan amunisi dan peluru”. (lihat W. L de Sturler - Proeve – halaman 186)
·         Pada saat peperangan melawan penjajah Belanda tahun 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada di atas tembok Kuto Besak. Sedangkan saat pada peperangan tahun 1821, hanya ada 75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok sungai, yang siaga mengancam penyerang.* [triyono-infokito]


http://images.dodinp.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SA2shwoKCEIAAB66NqE1/Benteng%2520Kuto%2520Besak.jpg?et=VQuesje6CXZvL0XL9D02hA&nmid=Menggambarkan ketika Sultan Mahmmud Badaruddin II sedang di giring belanda ke pengasingan di ternate  tahun 1821 setelah perang Palembang ke III dengan latar belakan benteng Kuto Besak (Ilustrasi)

·         Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya.

·         Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan tersebut ditentang oleh Sultan Palembang, sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang.
·          
·         Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 -- 1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

·         Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru, yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).
·          
·         Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.

·         Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.

·         Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda pada masing-masing sisi benteng, demikian juga dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinding tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai dengan profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi dengan celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.

·         Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu  2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.

·         Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.

·         Saat ini keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya; sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah gerbang utama Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke XX.
·         Selasa malam. Pukul 02.00 di bibir sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pasangan muda-mudi saling bercengkerama. Ditemani sinaran elok dari lampu-lampu yang berjejal pada kekarnya jembatan ampere. Paparan Musi ternyata masih membius tiap generasi untuk memadu cinta di tepiannya.
·         Malam makin larut, lapi tak henti kendaraan hilir mudikdan memarkir di bilangan sudut Ampera. Jauh ber-beda dengan kondisi tahun-tahun nan lampau, kota Palembang kini ielatif aman dan membuat orang betah keluar malam.
·         Ya, inilah sebuah karya dari za-man kejayaan Presiden Soekamo yang tak lekang dimakan tahun, karena Ampera dan Musi masih menjadi simbol kebanggaan rakyat Palembang. Sungai Musi adalah pusatdarisegalanya. Untuk kegiat-an sosial dan ekonomi, dari dahulu hingga kini, banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai ini sebagai pusat beraktivitas.
·         Tldak hanya di bilangan kota, su¬ngai ini juga menjadi sumber kehi-dupan di seluruh Sumatera Selatan tempo dulu, Musi laksana sirkuit bagi puluhan perahu tradisional yang mengangkutdagangandan hasil bumi sebuah potret kehidupan tradisional yang patut ditestarikan.
·         Berkaitan dengan pemanfaatan, masih banyak masyarakat yang melakukan pdanggaran dalam eksplo-rasi Dotensi sungai Musi. Pada beberapa kasus, orang tak bertanggung jawab memanfaatkan sungai ini untuk mencari barang bersejarah dan tambang.
·         JEMBATAN AMPERA
Kemegahan sungai sepanjang 750 kilometer ini semakin bertambah ketika di awal 60-an, Soekamo mengabulkan permintaan rakyat Palembang untuk memiliki sebuah jembatan yang menghubungkan lebamya sungai Musi. Jembatan ter¬sebut dibangun dengan dana pampasan perang Jepang.
·         Sebelumnya jembatan tersebut dinamakan Jembatan Soekamo, sebagai bentuk penghormatan terha-dap Presiden pertama Rl tersebut Namun akibat pergolakan politik yang banyak bergelut dalflm pemikiran anti Soekarno pada1966, jembatan ini pun diubah namanya menjadi Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
·         Awalnya Jembatan Ampera difungsikan naik-turun sehingga bisa dilewati kapal-kapal berukuran lebar 60 meter dan tinggi maksimal 44,50 meter. Dengan dua bandul berbobot 500 ton, bagjan tengah jembatan ini bisa diangkat dengan kecepatan 10 meter per menit atau sekitar 30 menit untuk mengangkat jembatan secara penuh.
·         Namun sejak 1970, naik-turun jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya karena waktu 30 menit amat menganggu lalu lintas antara ulu dan ilir yaitu daratan yang dibelah Musi.
·         LEBIH BERSIH NAMUN SEPI
·         Menarik tahun ke belakang, pada awal 2000-an, kawasan sekitar Arnpera penuh dengan aktivrtas perdagangan berupa pasartemporer. Aktivitas perekonomian dalam bentuk konservatif dan tradisional mengisi hari-hari’di sekitar Ampera. Hal yang paling diingat adalah kriminalitas yang selalu menjadi ancaman bagi pengunjung.
Malam itu, Muhammad Amir (39) masih menggunakan seragam dinasnya dan tetap setia menanti satu per satu sisa pengunjung yang ingin memarkir kendataannya. Tidak tampak sedikit pun kelelahan dari wajah pria yang mulai memasuki usia senja tersebut. Dengan logat khas Palembang, Amir menyambut setiap pengunjung dengan ramah. Ampera dan sungai Musi adalah bagian dari hidupnya.
·         Menurut Amir, Ampera dan su¬ngai Musi tak lagi seperti pada ta¬hun-tahun silam. “Sekarang sekitar Ampera memang lebih bersih dan tertata. Tapi sayang, tingkat kunjungan lebih sepi dibanding tahun-tahun sebdumnya. Tapi ada perubahan yang lebih baik sejak ada taman ko¬la di sini, di sekitar Ampera tebih ber¬sih, tertata, dan amah,” jelas Amir.
·         Keunikan Ampera menjadi ke¬banggaan Falembang. Sayang, kini nasibnya tetpuruk. Banyak wong (orang) asli Ralembang yang menyesalkan keterpurukan wahana ke-banggaan itu. Seperti diutarakan seorang kenalan yang sudah merantau ke tanah Jawa, Ampera kini tak lagi seperti dulu yang teriihat indah serta menarik untuk obyek wisata. “Am¬pera saat ini hanya sebagai bagian dari aktivitas penghubung transportasi antara seberang ulu dan ilir,” ujar kenalan tersebut. la berharap ada upaya atau kebijakan untuk kembali membangkitkan tingkat kuhjungan di sekitar Ampera dan Musi.

·         Syahdan, air sungai Musi dulu jernih dan memukau. Seiring waktu, limbah industri, rumah tangga, dan mereka yang tidak peduli kelangsungan harta berharga ini mencemari keindahan Musi. Ini tantangan bagi pemerintah kota bahkan provinsi untuk dapat mengembalikan keindahan Musi yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif sudut pandang. Lebih bersih pada penempatan taman kota bukan berarti melu-pakan kejernihan dan lestarinya ekologi sungai ini.
·         Semi (30) seorang awak perahu menuturkan kepahitan pariwisata di sekitar Musi. “Kami dulu di sini sesama awak perahu merasakan betul keramaian Musi. Setiap hari hampir selalu ada orang yang berkunjung dan menikmati panorama sekitar Musi dengan menggunakan perahu. Saat ini, jangankan untuk menargetkan pendapatan, kami sendiri pun tidak pemah tahu kapan mendapatkan rezeki. Pendapatan ekonomi tidak menentu, kadang ada yang sewa perahu, kadang selama satu minggu lamanya tidak mendapatkan sevvai satu pun. De¬ngan semua ini, jangankan untuk berbelanja, untuk makan pun sulit nian,” rintih Semi.
·         Artinya beberapa program yang dicanangkan pemerintah daerah lewat Dinas Pariwisata masih ha¬rus dikaryakan dan diperbanyak lagi lewat promosi dan pergelaran terpadu. Kaitannya adalah meningkatkan kunjungan dan meng-’ undang investor.
·         Seperti yang banyakterjadi di dalam negeri, hampir semua potensi yang layak diunggulkan perlahan malah menjadi mati. Kekayaan Mu¬si, Palembang, dan Sumatera Sela-tan seharusnya lebih disoroti. Sriwijaya pernah membangun kejayaan Patembarjg di abad ke-7 hingga 12.
·         Sebelum benar-benar mati, kebersamaan dari masyarakat, swasta, dan pastinya pemerintah sebagai regula¬tor harus lebih berkolaborasi.
·         Masih membekas di memori program Visit Musi 2008. Dengan berbagai pergelaran, diharapkan Musi kembati ada di hati para wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan Euis Rosita mengatakan, Visit Musi 2008 berhasil menyedot angka kunjungan melebihi target 2,5 juta pengunjung atau tepatnya 2.650.000 orang.
·         Sudut pandang Palembang seba¬gai kota wisata air bisa dihidupkan dan tentunya dampak langsung dapat dirasakan demi kesejahteraan kehidupan sekitar Musi.
·         Selasa malam. Pukul 02.00 di bibir sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pasangan muda-mudi saling bercengkerama. Ditemani sinaran elok dari lampu-lampu yang berjejal pada kekarnya jembatan ampere. Paparan Musi ternyata masih membius tiap generasi untuk memadu cinta di tepiannya.
·         Malam makin larut, lapi tak henti kendaraan hilir mudikdan memarkir di bilangan sudut Ampera. Jauh ber-beda dengan kondisi tahun-tahun nan lampau, kota Palembang kini ielatif aman dan membuat orang betah keluar malam.
·         Ya, inilah sebuah karya dari za-man kejayaan Presiden Soekamo yang tak lekang dimakan tahun, karena Ampera dan Musi masih menjadi simbol kebanggaan rakyat Palembang. Sungai Musi adalah pusatdarisegalanya. Untuk kegiat-an sosial dan ekonomi, dari dahulu hingga kini, banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai ini sebagai pusat beraktivitas.
·         Tldak hanya di bilangan kota, su¬ngai ini juga menjadi sumber kehi-dupan di seluruh Sumatera Selatan tempo dulu, Musi laksana sirkuit bagi puluhan perahu tradisional yang mengangkutdagangandan hasil bumi sebuah potret kehidupan tradisional yang patut ditestarikan.
·         Berkaitan dengan pemanfaatan, masih banyak masyarakat yang melakukan pdanggaran dalam eksplo-rasi Dotensi sungai Musi. Pada beberapa kasus, orang tak bertanggung jawab memanfaatkan sungai ini untuk mencari barang bersejarah dan tambang.
·         JEMBATAN AMPERA
Kemegahan sungai sepanjang 750 kilometer ini semakin bertambah ketika di awal 60-an, Soekamo mengabulkan permintaan rakyat Palembang untuk memiliki sebuah jembatan yang menghubungkan lebamya sungai Musi. Jembatan ter¬sebut dibangun dengan dana pampasan perang Jepang.
·         Sebelumnya jembatan tersebut dinamakan Jembatan Soekamo, sebagai bentuk penghormatan terha-dap Presiden pertama Rl tersebut Namun akibat pergolakan politik yang banyak bergelut dalflm pemikiran anti Soekarno pada1966, jembatan ini pun diubah namanya menjadi Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
·         Awalnya Jembatan Ampera difungsikan naik-turun sehingga bisa dilewati kapal-kapal berukuran lebar 60 meter dan tinggi maksimal 44,50 meter. Dengan dua bandul berbobot 500 ton, bagjan tengah jembatan ini bisa diangkat dengan kecepatan 10 meter per menit atau sekitar 30 menit untuk mengangkat jembatan secara penuh.
·         Namun sejak 1970, naik-turun jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya karena waktu 30 menit amat menganggu lalu lintas antara ulu dan ilir yaitu daratan yang dibelah Musi.
·         Menarik tahun ke belakang, pada awal 2000-an, kawasan sekitar Arnpera penuh dengan aktivrtas perdagangan berupa pasartemporer. Aktivitas perekonomian dalam bentuk konservatif dan tradisional mengisi hari-hari’di sekitar Ampera. Hal yang paling diingat adalah kriminalitas yang selalu menjadi ancaman bagi pengunjung.
Malam itu, Muhammad Amir (39) masih menggunakan seragam dinasnya dan tetap setia menanti satu per satu sisa pengunjung yang ingin memarkir kendataannya. Tidak tampak sedikit pun kelelahan dari wajah pria yang mulai memasuki usia senja tersebut. Dengan logat khas Palembang, Amir menyambut setiap pengunjung dengan ramah. Ampera dan sungai Musi adalah bagian dari hidupnya.
·         Menurut Amir, Ampera dan su¬ngai Musi tak lagi seperti pada ta¬hun-tahun silam. “Sekarang sekitar Ampera memang lebih bersih dan tertata. Tapi sayang, tingkat kunjungan lebih sepi dibanding tahun-tahun sebdumnya. Tapi ada perubahan yang lebih baik sejak ada taman ko¬la di sini, di sekitar Ampera tebih ber¬sih, tertata, dan amah,” jelas Amir.
·         Keunikan Ampera menjadi ke¬banggaan Falembang. Sayang, kini nasibnya tetpuruk. Banyak wong (orang) asli Ralembang yang menyesalkan keterpurukan wahana ke-banggaan itu. Seperti diutarakan seorang kenalan yang sudah merantau ke tanah Jawa, Ampera kini tak lagi seperti dulu yang teriihat indah serta menarik untuk obyek wisata. “Am¬pera saat ini hanya sebagai bagian dari aktivitas penghubung transportasi antara seberang ulu dan ilir,” ujar kenalan tersebut. la berharap ada upaya atau kebijakan untuk kembali membangkitkan tingkat kuhjungan di sekitar Ampera dan Musi.
·         Syahdan, air sungai Musi dulu jernih dan memukau. Seiring waktu, limbah industri, rumah tangga, dan mereka yang tidak peduli kelangsungan harta berharga ini mencemari keindahan Musi. Ini tantangan bagi pemerintah kota bahkan provinsi untuk dapat mengembalikan keindahan Musi yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif sudut pandang. Lebih bersih pada penempatan taman kota bukan berarti melu-pakan kejernihan dan lestarinya ekologi sungai ini.
·         Semi (30) seorang awak perahu menuturkan kepahitan pariwisata di sekitar Musi. “Kami dulu di sini sesama awak perahu merasakan betul keramaian Musi. Setiap hari hampir selalu ada orang yang berkunjung dan menikmati panorama sekitar Musi dengan menggunakan perahu. Saat ini, jangankan untuk menargetkan pendapatan, kami sendiri pun tidak pemah tahu kapan mendapatkan rezeki. Pendapatan ekonomi tidak menentu, kadang ada yang sewa perahu, kadang selama satu minggu lamanya tidak mendapatkan sevvai satu pun. De¬ngan semua ini, jangankan untuk berbelanja, untuk makan pun sulit nian,” rintih Semi.
·         Artinya beberapa program yang dicanangkan pemerintah daerah lewat Dinas Pariwisata masih ha¬rus dikaryakan dan diperbanyak lagi lewat promosi dan pergelaran terpadu. Kaitannya adalah meningkatkan kunjungan dan meng-’ undang investor.
·         Seperti yang banyakterjadi di dalam negeri, hampir semua potensi yang layak diunggulkan perlahan malah menjadi mati. Kekayaan Mu¬si, Palembang, dan Sumatera Sela-tan seharusnya lebih disoroti. Sriwijaya pernah membangun kejayaan Patembarjg di abad ke-7 hingga 12.
·         Sebelum benar-benar mati, kebersamaan dari masyarakat, swasta, dan pastinya pemerintah sebagai regula¬tor harus lebih berkolaborasi.
·         Masih membekas di memori program Visit Musi 2008. Dengan berbagai pergelaran, diharapkan Musi kembati ada di hati para wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan Euis Rosita mengatakan, Visit Musi 2008 berhasil menyedot angka kunjungan melebihi target 2,5 juta pengunjung atau tepatnya 2.650.000 orang.
·         Sudut pandang Palembang seba¬gai kota wisata air bisa dihidupkan dan tentunya dampak langsung dapat dirasakan demi kesejahteraan kehidupan sekitar Musi.

Mitos sunagi musi.
Selasa malam. Pukul 02.00 di bibir sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pasangan muda-mudi saling bercengkerama. Ditemani sinaran elok dari lampu-lampu yang berjejal pada kekarnya jembatan ampere. Paparan Musi ternyata masih membius tiap generasi untuk memadu cinta di tepiannya.
Malam makin larut, lapi tak henti kendaraan hilir mudikdan memarkir di bilangan sudut Ampera. Jauh ber-beda dengan kondisi tahun-tahun nan lampau, kota Palembang kini ielatif aman dan membuat orang betah keluar malam.
Ya, inilah sebuah karya dari za-man kejayaan Presiden Soekamo yang tak lekang dimakan tahun, karena Ampera dan Musi masih menjadi simbol kebanggaan rakyat Palembang. Sungai Musi adalah pusatdarisegalanya. Untuk kegiat-an sosial dan ekonomi, dari dahulu hingga kini, banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai ini sebagai pusat beraktivitas.
Tldak hanya di bilangan kota, su¬ngai ini juga menjadi sumber kehi-dupan di seluruh Sumatera Selatan tempo dulu, Musi laksana sirkuit bagi puluhan perahu tradisional yang mengangkutdagangandan hasil bumi sebuah potret kehidupan tradisional yang patut ditestarikan.
Berkaitan dengan pemanfaatan, masih banyak masyarakat yang melakukan pdanggaran dalam eksplo-rasi Dotensi sungai Musi. Pada beberapa kasus, orang tak bertanggung jawab memanfaatkan sungai ini untuk mencari barang bersejarah dan tambang.

JEMBATANAMPERA
Jembatan Ampera Zaman DuluPada masa orde baru, Jembatan Ampera  pernah menjadi primadona Kota Palembang  sebagai jembatan terbesar di Indonesia  dan difungsikan sebagai jembatan penyeberangan baik untuk kendaraan bermotor maupun kapal. Karena dimakan usia, Jembatan Ampera tidak bisa lagi difungsikan untuk lalu-lintas kapal yang akan lewat tepat di bawahnya.
Hanya kapal-kapal kecil yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera. Jembatan Ampera juga digunkan sebagai ikon/lambang Kota Palembang . Jika anda ingin mengabadikan Jembatan Ampera, anda sebaiknya datang pada sore hari dengan membawa kamera DSLR untuk hasil maksimal.
Selamat Berwisata di Kota Palembang.

Kemegahan sungai sepanjang 750 kilometer ini semakin bertambah ketika di awal 60-an, Soekamo mengabulkan permintaan rakyat Palembang untuk memiliki sebuah jembatan yang menghubungkan lebamya sungai Musi. Jembatan ter¬sebut dibangun dengan dana pampasan perang Jepang.
Sebelumnya jembatan tersebut dinamakan Jembatan Soekamo, sebagai bentuk penghormatan terha-dap Presiden pertama Rl tersebut Namun akibat pergolakan politik yang banyak bergelut dalflm pemikiran anti Soekarno pada1966, jembatan ini pun diubah namanya menjadi Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Awalnya Jembatan Ampera difungsikan naik-turun sehingga bisa dilewati kapal-kapal berukuran lebar 60 meter dan tinggi maksimal 44,50 meter. Dengan dua bandul berbobot 500 ton, bagjan tengah jembatan ini bisa diangkat dengan kecepatan 10 meter per menit atau sekitar 30 menit untuk mengangkat jembatan secara penuh.
Namun sejak 1970, naik-turun jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya karena waktu 30 menit amat menganggu lalu lintas antara ulu dan ilir yaitu daratan yang dibelah Musi.

LEBIH BERSIH NAMUN SEPI
Menarik tahun ke belakang, pada awal 2000-an, kawasan sekitar Arnpera penuh dengan aktivrtas perdagangan berupa pasartemporer. Aktivitas perekonomian dalam bentuk konservatif dan tradisional mengisi hari-hari’di sekitar Ampera. Hal yang paling diingat adalah kriminalitas yang selalu menjadi ancaman bagi pengunjung.
Malam itu, Muhammad Amir (39) masih menggunakan seragam dinasnya dan tetap setia menanti satu per satu sisa pengunjung yang ingin memarkir kendataannya. Tidak tampak sedikit pun kelelahan dari wajah pria yang mulai memasuki usia senja tersebut. Dengan logat khas Palembang, Amir menyambut setiap pengunjung dengan ramah. Ampera dan sungai Musi adalah bagian dari hidupnya.
Menurut Amir, Ampera dan su¬ngai Musi tak lagi seperti pada ta¬hun-tahun silam. “Sekarang sekitar Ampera memang lebih bersih dan tertata. Tapi sayang, tingkat kunjungan lebih sepi dibanding tahun-tahun sebdumnya. Tapi ada perubahan yang lebih baik sejak ada taman ko¬la di sini, di sekitar Ampera tebih ber¬sih, tertata, dan amah,” jelas Amir.
Keunikan Ampera menjadi ke¬banggaan Falembang. Sayang, kini nasibnya tetpuruk. Banyak wong (orang) asli Ralembang yang menyesalkan keterpurukan wahana ke-banggaan itu. Seperti diutarakan seorang kenalan yang sudah merantau ke tanah Jawa, Ampera kini tak lagi seperti dulu yang teriihat indah serta menarik untuk obyek wisata. “Am¬pera saat ini hanya sebagai bagian dari aktivitas penghubung transportasi antara seberang ulu dan ilir,” ujar kenalan tersebut. la berharap ada upaya atau kebijakan untuk kembali membangkitkan tingkat kuhjungan di sekitar Ampera dan Musi.
Musi. Ini tantangan bagi pemerintah kota bahkan provinsi untuk dapat mengembalikan keindahan Musi yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif sudut pandang. Lebih bersih pada penempatan taman kota bukan berarti melu-pakan kejernihan dan lestarinya ekologi sungai ini.
Semi (30) seorang awak perahu menuturkan kepahitan pariwisata di sekitar Musi. “Kami dulu di sini sesama awak perahu merasakan betul keramaian Musi. Setiap hari hampir selalu ada orang yang berkunjung dan menikmati panorama sekitar Musi dengan menggunakan perahu. Saat ini, jangankan untuk menargetkan pendapatan, kami sendiri pun tidak pemah tahu kapan mendapatkan rezeki. Pendapatan ekonomi tidak menentu, kadang ada yang sewa perahu, kadang selama satu minggu lamanya tidak mendapatkan sevvai satu pun. De¬ngan semua ini, jangankan untuk berbelanja, untuk makan pun sulit nian,” rintih Semi.
Artinya beberapa program yang dicanangkan pemerintah daerah lewat Dinas Pariwisata masih ha¬rus dikaryakan dan diperbanyak lagi lewat promosi dan pergelaran terpadu. Kaitannya adalah meningkatkan kunjungan dan meng-’ undang investor.
Seperti yang banyakterjadi di dalam negeri, hampir semua potensi yang layak diunggulkan perlahan malah menjadi mati. Kekayaan Mu¬si, Palembang, dan Sumatera Sela-tan seharusnya lebih disoroti. Sriwijaya pernah membangun kejayaan Patembarjg di abad ke-7 hingga 12.
Sebelum benar-benar mati, kebersamaan dari masyarakat, swasta, dan pastinya pemerintah sebagai regula¬tor harus lebih berkolaborasi.
Masih membekas di memori program Visit Musi 2008. Dengan berbagai pergelaran, diharapkan Musi kembati ada di hati para wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan Euis Rosita mengatakan, Visit Musi 2008 berhasil menyedot angka kunjungan melebihi target 2,5 juta pengunjung atau tepatnya 2.650.000 orang.
Sudut pandang Palembang seba¬gai kota wisata air bisa dihidupkan dan tentunya dampak langsung dapat dirasakan demi kesejahteraan kehidupan sekitar Musi.

Mitos Pulau Kemarau
Pulau Kemarau adalah salah satu delta yang ada di Sungai Musi.Pulau Kemarau menjadi spesial bagi warga Palembang, khususnya penganut agama Budha karena keberadaan pagoda yang dibangun mulai tahun 2006 dan mitos / sejarah / legenda Pulau Kemarau itu sendiri.

Menurut legenda (sebagian meyakini sebagai sejarah) masyarakat setempat konon delta ini timbul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah (salah satu putri Raja Sri Vijaya) kepada calon suaminya. Ceritanya sendiri agak mirip dengan cerita Romeo & Juliet atau Sampek Eng Tay.

Konon pada akhir kerajaan Sri Vijaya (sekitar akhir abad 14) ada seorang pangeran dari Negeri Cina (lupa namanya) datang untuk belajar ke Sri Vijaya yang saat itu memang terkenal sebagai kota pendidikan. Selama berada di Sri Vijaya pangeran itu berkenalan dan jatuh hati kepada Siti Fatimah yang putri Raja Sri Vijaya. Untuk mengikat hubungan cinta mereka sang pangeran pun meminang sang putri. Gayung pun bersambut, pinangan sang pangeran diterima oleh sang putri dan keluarganya.

Untuk melengkapi pinangannya sang pangeran pun mengutus perwira pengawalnya (namanya lupa) pulang ke Cina untuk meminta cindera mata kepada bapaknya (namanya lupa). Selang berapa lama sang perwira pengawalnya datang kembali ke Sri Vijaya dengan membawa cindera mata dalam kapal beserta hulubalangnya. Tanpa sepengetahuan sang perwira pengawal dan hulubalangnya, rupanya ketika di Cina, orang tua sang pangeran menyamarkan guci, keramik dan uang cina (emas atau perak yang berbentuk perahu, kalo ga salah namanya Tael, cmiiw) dibawah tumpukan sayur dan buah-buahan. Maksudnya untuk kejutan kepada calon mantu ketika menerima buah pinangan sang pangeran.

Ketika kapal akan sandar sang pangeran memeriksa kapal untuk meyakinkan isinya sesuai yang dia harapkan. Tapi ternyata yang keliatan oleh hanya sayuran, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Sang Pangeran pun panik, karena dia berharap orang tuanya mengirimi dia tael untuk menyenangkan sang putri. Setelah dia mengobrak-abrik kapal sampai putus asa dengan harapan menemukan tael diatara hasil bumi, akhirnya dia marah besar karena malu, dia melempar semua muatan kapal ke Sungai Musi dan menenggelamkan beberapa kapalnya. Ketika sebagian besar hasil bumi sudah dibuang ke sungai baru tampak oleh sang pangeran ada tael diantara hasil bumi tersebut.

Merasa menyesal sudah membuang semua sang pangeran menyuruh seluruh hulu balangnya untuk mengambil sayuran yang sudah terlanjur dibuang ke Sungai Musi. Karena arus bawah Sungai Musi yang deras sebagian besar hulu balangnya mati tenggelam dan hanyut terbawa arus. Sang Pangeran pun kemudian menyuruh perwira pengawalnya untuk menyusul mengambil kembali tael yang sudah terlanjur dibuang ke sungai, dan seperti hulubalang lainnya, sang perwira pengawal pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan Sungai Musi.

Merasa penasaran dan tambah panik akhirnya Sang Pangeran ikut nyebur untuk mengambil sendiri buah pinangan dari dasar Sungai Musi. Tapi seperti halnya hulubalang dan perwira pengawalnya, sang pangeran pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan sungai. Melihat kejadian itu sang putri ikut panik karena calon suaminya tidak timbul lagi ke permukaan sungai, dia pun ikut nyebut untuk menolong calon suaminya. Tapi sang putri pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan sungai. Tidak lama berselang dari tenggelamnya sang putri dari dasar sungai timbul gundukan tanah ke permukaan sungai yang akhirnya menjadi cikal bakal delta Pulau Kemarau ini. Atas kejadian itu masyarakat pun meyakini kalau gundukan tanah itu merupakan nisan sepasang kekasih itu. Lama kelamaan, seiring berjalannya waktu gundukan tanah itu makin membesar dan jadilah delta seperti sekarang ini. Nama "Pulau Kemarau" ini sendiri diberikan oleh masyarakat setempat karena pulau ini selalu kering dan tidak pernah hilang tenggelam, bahkan ketika air Sungai Musi pasang besar sekalipun.

Kesininya, tempat itu menjadi spesial bagi masyarakat Tionghoa karena cerita yang melatarbelakangi pembentukan delta itu sendiri. Makanya ketika hari raya Imlek banyak wakrga Tionghoa yang datang kesini untuk sembahyang atau mengenang kejadian tersebut atau sekedar berwisata.
::oops::::shinchandance::









Tidak ada komentar:

Posting Komentar